KEHIDUPAN PRASEJARAH YANG
TERSISA HINGGA SAAT INI
TRADISI PENGUBURAN DALAM GUA
Dalam lintas sejarah kehidupan manusia, gua-gua dan ceruk
payung dikenal sebagai salah satu tempat tinggal, baik secara tetap atau
sementara, selain daerah terbuka lainnya. Pemanfaatan gua-gua sebagai tempat
tinggal di Indonesia sudah dimulai sekitar
± 10.000 tahun yang lalu (Poesponegoro et.al., 1993). Gua atau ceruk
pada masa ini mulai dikenal sebagai pusat aktivitas manusia untuk beberapa
macam kegiatan, antara lain : tempat tinggal, lokasi kegiatan industri alat
(Batu, kayu atau tulang), dan lokasi penguburan.
Gua-gua dan ceruk payung sering digunakan manusia sebagai
tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan, panas dan dingin),
dan juga dari gangguan dan serangan binatang-binatang buas serta ancaman dari
kelompok manusia lainnya. Dalam periode penghunian gua, yang paling awal tampak
bahwa gua dipergunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian pada kurun
waktu berikutnya menjadikan gua sebagai tempat kubur dan tempat melaksanakan
upacara-upacara ritual.
Pemanfaatan gua sebagai tempat penguburan menunjukkan
adanya kecenderungan memilih bagian-bagian atau ruang-ruang yang lebih
terisolasi, yaitu yang dekat dinding gua. Penguburan dalam gua pada umumnya
dalam posisi rangka terlipat, yang menunjukkan adanya perlakuan khusus terhadap
si mati. Sebagian ahli menganggap posisi rangka terlipat ini sebagai posisi
tiruan kondisi bayi yang berada dalam rahim ibu, yang melambangkan suatu
kelahiran kembali pada kehidupan sesudah mayi (Soejono, 1977), sebagian lainnya
mendasarkan pada alasan praktis, yaitu untuk mengatasi tempat penguburan yang
sempit. Sistem penguburan terlipat agaknya mulai berkembang luas sejak awal
Kala Holosen, antara lain ditemukan di Gua Lawa, Gua Sodong, Gua Marjan, Gua
Gentong (Simanjuntak, 1999).
Di samping itu tampak adanya jenis penguburan langsung
(primer) dan penguburan kedua (sekunder), baik yang menggunakan wadah kubur
maupun yang tanpa wadah kubur. Wadah kubur yang sering ditemukan dalam
penguburan di gua-gua antara lain : tempayan gerabah, tempayan keramik (guci),
atau peti mati dari kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Kalimantan merupakan sebuah pulau besar yang ada di
wilayah negara Indonesia, yang dikenal mempunyai sumberdaya alam berupa
perbukitan batu kapur yang cukup melimpah. Sumberdaya alam tersebut terdapat
terutama disekitar daerah pegunungan yang ada, seperti di sekitar Pegunungan
Meratus, Pegunungan Muller dan Pegunungan Schwanner. Menurut hasil penelitian
pemantauan, kawasan perbukitan batu kapur di Kalimantan terbentuk secara acak
dan terputus-putus. Kawasan perbukitan batu kapur yang sangat potensial
terdapat antara lain : di Tanjung Mangkalihat, Binuang, Muara Uya dan
lain-lain. Di kawasan perbukitan batu kapur seperti ini, biasanya banyak
terdapat gua atau ceruk payung.
Sementara itu, gua dan ceruk payung yang ada di wilayah
Kalimantan tampaknya banyak yang masih dipergunakan sebagai tempat penguburan
tradisional oleh masyarakat setempat. Temuan berupa wadah kubur baik yang masih
lengkap isinya maupun yang sudah kosong serta temuan tulang tengkorak pada gua
dan ceruk payung jelas menunjukkan adanya kegiatan penguburan yang pernah
dilakukan pada tempat tersebut. Hanya sayangnya sampai saat ini siapa pendukung
tradisi penguburan gua belum dapat
diketahui dengan jelas. Masyarakat yang
ada disekitar lokasi situs saat ini,
banyak yang tidak (kurang) tahu tentang proses penguburan dalam gua. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran
tentang proses penguburan yang mendekati kebenaran, diperlukan bantuan dari
studi etnografi tentang tata cara penguburan tradisional yang masih dilakukan
oleh masyarakat saat ini. Studi etnografi yang digunakan untuk membantu
penafsiran data arkeologi biasa dikenal dengan etnoarkeologi.
Studi etnoarkeologi yang dimaksudkan adalah studi tentang
bagaimana masyarakat menangani sebuah kematian dan memperlakukan mayat mulai
dari persiapan sampai pada pelaksanaan penguburannya, bagaimana bentuk wadah
kubur yang digunakan, bagaimana bekal kubur yang disertakan, dimana lokasi
penguburannya, bagaimana pengaturan atau penjadwalan jenis penguburannya dan
lain-lain. Semua keterangan itu merupakan data pembanding yang sangat berguna
bagi pengungkapan dan penjelasan tentang sisa-sisa penguburan dalam gua-gua di
wilayah Kalimantan.
Penguburan Dalam Gua-dan Ceruk Prasejarah
Secara umum penguburan dalam gua dan ceruk payung dapat
dibagi dalam dua kelompok, yaitu :kelompok pertama penguburan langsung (primer)
dan kelompok kedua penguburan tidak langsung (sekunder). Selain berdasarkan
wadah kubur yang dipergunakan, jenis penguburan langsung (primer) dapat
dibedakan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penguburan langsung
(primer) tanpa wadah kubur dan penguburan langsung dengan wadah kubur. Sedang
penguburan tidak langsung (sekunder) juga dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok penguburan tidak langsung (sekunder) tanpa wadah dan dengan wadah
kubur. Wadah kubur yang dipergunakan pada umumnya berupa kotak kayu, kotak
tembikar, tempayan gerabah atau tempayan keramik.
Pada umumnya di Indonesia, dikenal adanya penguburan
langsung tanpa wadah kubur, dengan berbagai macam sikap dan posisi mayat.
Posisi yang paling sering ditemukan adalah posisi mayat lurus, bisa telentang,
miring dengan berbagai macam sikap tangan (lurus disamping tubuh, menyilang
diatas dada atau perut dengan telapak tangan menutupi daerah kemaluan, dan
lainnya). Kemudian terdapat juga posisi mayat terlipat (duduk atau terbujur
miring), dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan terlipat dibagian kepala
atau leher.
Khusus penguburan primer dengan wadah kubur berupa
tempayan, biasanya mayat diatur dalam posisi terlipat sedemikian rupa, sehingga
dapat dimasukkan dalam tempayan kubur. Cara memasukkan mayat tersebut harus
hati-hati, dengan terlebih dahulu memotong bagian atas tempayan untuk
mempermudah proses masuknya mayat. Setelah mayat dapat dimasukkan dalam
tempayan, baru kemudian bagian atas yang terpotong tadi disambungkan lagi dan
akhirnya tempayan tersebut ditutup oleh piring, periuk atau tempayan lain yang
lebih kecil. (Poesponegoro et.al., 1993).
Sementara untuk penguburan yang menggunakan wadah kubur,
antara lain terdapat di Gua Niah (Serawak). Di Gua Niah, selain penguburan
langsung tanpa wadah, juga terdapat penguburan dengan wadah kubur berupa
tempayan gerabah. Tempayan kubur yang terdapat di Gua Niah terdiri dari dua
kelompok, yaitu kelompok yang digunakan sebagai tempat penguburan primer dan
kelompok penguburan sekunder. Selain itu juga terdapat penguburan dengan
menggunakan sepasang tempayan (tempayan ganda/setangkup) (Harrisson, 1968).
Memang dalam penghunian gua dan ceruk payung, kegiatan
penguburan merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan kehidupan manusia,
yang dipandang mempunyai nilai lain yang sangat penting. Pada masa-masa awal
penghunian manusia, dimana jumlah anggota kelompok yang menghuni gua belum
begitu banyak, biasanya lokasi penguburan terdapat dibagian sudut gua yang agak
kedalam dan cukup gelap. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan kemampuan
yang menyebabkan terjadinya peningkatan pengetahuan dan wawasan dalam
mengarungi kehidupan.
Peningkatan pengetahuan ini berakibat langsung kepada
pertambahan jumlah anggota kelompok, yang ujung-ujungnya membuat ruangan yang
tersedia di gua atau ceruk payung terasa begitu sempit dan sesak. Terdesak oleh
keperluan ruang kehidupan yang nyaman, maka mereka mencoba mencari tempat
tinggal yang baru yang dapat menampung kelebihan jumlah anggota kelompok.
Peningkatan pengetahuan manusia ini juga berimbas langsung terhadap pandangan
terhadap proses penguburan dan lokasi penguburan. Kemungkinan besar, lokasi
penguburan yang dulunya menjadi satu dengan kegiatan kehidupan lainnya dengan
relokasi tertentu, kemudian mulai sedikit demi sedikit dipindahkan ke tempat
yang lain (gua atau ceruk yang lain). Sehingga kemudian muncul atau ditemukan
ada gua-gua yang khusus berisi temuan berupa sisa-sisa aktivitas penguburan
saja.
Penguburan manusia dalam gua-gua prasejarah pada awalnya
sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primer) dengan posisi mayat
telentang atau terlipat, dan mayat ditaburi dengan warna merah (oker).
Pemberian bekal kubur yang pada awalnya tidak atau belum dikenal, sedikit demi
sedikit mulai dikenal dan dipraktekkan baik pada penguburan tanpa wadah atau
dengan wadah kubur. Bekal kubur yang sering disertakan berupa : manik-manik,
beliung persegi, perhiasan (kerang, batu, dan lainnya), senjata, dan peralatan
kehidupan (piring, periuk, kendi, botol dan lainnya).
Hasil penelitian terhadap gua dan ceruk antara di wilayah
Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Tenggara serta Nusa Tenggara, menunjukkan
bahwa penguburan manusia dalam gua dapat dibagi dalam empat tahapan, yaitu :
1. Tahap pertama : penguburan
langsung tanpa wadah kubur (primer), yaitu mayat langsung dikuburkan dalam
tanah dengan posisi rangka telentang, miring terbujur atau miring terlipat.
2. Tahap kedua : penguburan
langsung dengan wadah kubur berupa tempayan atau guci keramik, dalam berbagai
bentuk dan ukuran serta wadah kubur lainnya.
3. Tahap ketiga : penguburan
tidak langsung dengan wadah kubur berupa tempayan atau guci keramik.
4. Tahap keempat : penguburan
tidak langsung tanpa wadah kubur, yaitu dengan menempatkan beberapa
tulang-tulang khusus pada suatu tempat yang terpencil (susah dijangkau),
seperti gua-gua dan ceruk payung yang terdapat pada dinding batu kapur yang
cukup tinggi
Pengamatan temuan sisa-sisa penguburan yang ada dalam gua
atau ceruk payung, yang berupa rangka manusia baik yang utuh maupun yang tidak
utuh, menunjukkan bahwa jenis manusia yang dikuburkan dalam gua-gua itu adalah
: ras Australomelanesid dan Mongoloid. Dari prosentase temuan yang dilakukan
terhadap posisi mayat yang ada, menunjukkan bahwa ras Australomelanesid
cenderung mempergunakan posisi mayat telentang, sedang posisi terlipat sering
menunjukkan manusia dari ras Mongoloid (Bellwood, 2000).
Konsep Kematian Dan Penguburan Tradisional
Adanya penguburan dalam gua-gua dan ceruk payung
menunjukkan adanya satu konsep kepercayaan tentang kematian yang berkembang
pesat seiring dengan peningkatan teknologi dan kemampuan manusia dalam
mengahadapi tantangan alam. Pemilihan lokasi penguburan yang berada di
sudut-sudut bagian dalam gua yang cukup gelap, merupakan wujud dari perasaan
takut mereka akan kekuatan dan pengaruh yang berasal dari luar kehidupan
manusia (supranatural). Manusia pada masa ini, percaya dan yakin bahwa kematian
itu bukanlah akhir dari satu kehidupan manusia, tetapi merupakan salah satu
tahapan transisi kehidupan yang harus dilewati oleh roh si mati dalam
perjalanan mencapai alam arwah.
Selama masa transisi, roh si mati tidak dapat berbuat
apa-apa, dan sangat membutuhkan bantuan keluarga lainnya untuk mempersiapkan
dan menyelenggarakan perjalanan panjangnya. Keberhasilan perjalanan roh si mati
dalam menuju alam arwah (surga)
merupakan kewajiban ahli waris atau keluarga yang ditinggalkannya, dan
keberhasilan itu berdampak baik pada kehidupan manusia terutama yang berkaitan dengan kesuburan tanaman,
kesehatan dan kemakmuran.
Pandangan dan keyakinan inilah yang kemudian memunculkan
adanya pemberian bekal kubur bagi
keperluan si mati. Seperti diketahui, setelah meninggal, roh si mati
harus mengadakan perjalanan panjang dan penuh rintangan menuju ke alam arwah.
Perjalanan tersebut memerlukan persiapan yang matang dan perbekalan yang cukup,
sehingga nantinya tidak akan mengalami gangguan dan dapat sampai dengan selamat
ke alam arwah.
Untuk keperluan perjalanan roh tersebut, maka disertakan
barang atau benda lain yang diperlukan selama perjalanan tersebut, seperti :
makanan secukupnya, senjata, perhiasan dan lainnya. Pada awalnya, perlakuan
terhadap mayat hanya berupa pemberian taburan warna atau sapuan cat merah
(oker) pada rangka manusia yang dikuburkan, kemudian berkembang seperti di atas
bahkan adapula yang menyertakan seekor binatang peliharaan atau seorang budak
yang dimilikinya, untuk mengawal perjalanan menuju ke alam arwah.
Semua konsep dan kepercayaan yang diyakini oleh
masyarakat tradisional ini dilakukan dengan penuh ketaatan dan diatur secara
tegas dalam adat istiadat tradisional.
Dalam aturan adat istiadat, proses penanganan si mati ini terdiri dari
dua atau tiga tahap, yaitu : tahap penguburan pertama, tahap penguburan kedua
dan tahap penguburan ketiga. Tetapi pada umumnya yang sering tampak adalah
penguburan pertama dan dilanjutkan oleh penguburan kedua beberapa waktu
kemudian.
Pada pelaksanaan penguburan pertama, biasa si mati
(mayat) dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu (peti kubur, tempayan dan
lain-lain). Sedang pada pelaksanaan penguburan kedua, biasa dilakukan setelah 2
– 3 tahun setelah penguburan dan disertai dengan pesta upacara yang sangat
meriah (Tiwah, Ijambe, Marabia, Ngadatun, Mambatur,dan Irau ). Pada penguburan
tahap ketiga, biasanya dilakukan setelah penguburan kedua, dengan mengambil
tengkorak dan tulang jari-jari tangan untuk dipindahkan ke tempat lain yang
susah dijangkau seperti celah-celah di tebing batu kapur yang curam atau di
dasar sungai yang dalam. Pemindahan tengkorak ini dilakukan agar tidak dapat
dirampok atau dicuri oleh musuh.
Pada penguburan pertama, wadah kubur yang digunakan oleh
beberapa kelompok masyarakat tradisional di Kalimantan biasanya berupa sebuah
peti mati dari kayu (ulin) atau sebuah tempayan baik gerabah maupun keramik
(guci, tajau). Peti mati dari kayu ini mempunyai nama sesuai dengan
masyarakatnya, seperti pada masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah disebut
dengan keriring, di Kalimantan selatan dikenal dengan sebutan tebela dan di
Kalimantan Timur dikenal dengan nama lungun. (Hartatik, 2000; 2001), sedang
untuk tempayan juga dikenal beberapa nama lokal seperti : tajau, dan belanai (Kusmartono et.al., 2000).
Peti mati kayu tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian wadah dan bagian penutup. Bentuk peti mati dibuat mirip dengan bentuk
perahu, dan kadang diberi hiasan naga pada bagian atas penutup. Hiasan naga ini
dapat juga digunakan sebagai tanda arah / orientasi penguburan, dimana pahatan
kepala naga selalu diarahkan ke arah hilir (Hartatik, 2000). Sedang untuk penguburan dengan wadah kubur
berupa tempayan, juga sering dijumpai adanya hiasan gambar naga pada bagian
leher atau badan tempayan. Informasi
dari para sesupuh masyarakat, menyebutkan bahwa jenis tampayan yang digunakan
bervariasi. Jenis tempayan yang bagus dan mahal hanya digunakan oleh kaum
mampu, sedangkan orang biasa hanya menggunakan tempayan yang kualitasnya
dibawahnya (biasanya polos tanpa hiasan) (Kusmartono et.al., 2000).
Lokasi penguburan yang dipilih oleh masyarakat sangat
bervariasi. Ada yang menempatkan lokasi penguburan disebuah lahan yang terletak
tidak begitu jauh dengan lokasi permukiman (khusus untuk penguburan pertama
(sekunder)), sedang untuk penguburan kedua (sekunder) dapat juga menggunakan
lahan yang sama atau memilih lokasi lain, seperti : di tengah hutan, dahan
pohon besar, celah tebing-tebing batu, gua, ceruk atau dasar sungai yang dalam
(Arifin, 1996a).
Tradisi Penguburan Dalam Gua-Gua di Kalimantan
Tradisi penguburan dalam gua yang ada di wilayah
Kalimantan, antara lain terdapat di
Liang Nyeloi, Gua Malui, Gua Kasali, Gua Tengkorak (Batu Sopang), Gua
Tengkorak (Longkali), Gua Tengkorak (Muser), dan Gua Lungun Aji Bawo
(Nitihaminoto et.al., 1999; Prasetyo et.al., 1995; Sugiyanto, 2004).
Liang Nyeloi, yang terletak di daerah perbukitan batu
kapur di Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kalimantan Tengah, merupakan
sebuah gua yang digunakan sebagai tempat penguburan masyarakat tradisional.
Jenis penguburan yang terdapat di dalam gua tersebut berupa penguburan dengan
menggunakan keriring. Ada sekitar ... buah keriring yang semuannya berisi
rangka manusia utuh yang sudah agak rapuh. Jumlah keriring dan kondisi rangka
manusia yang ada menunjukkan bahwa penguburan yang dilakukan di Liang Nyeloi
adalah penguburan langsung (primer) dengan menggunakan wadah kubur keriring
(Nitihaminoto et.al., 1999).
Gua Malui, yang
terletak di Gunung Kapur di wilayah Kecamatan Haruai, merupakan sebuah gua yang
didalamnya banyak ditemukan tulang tengkorak dan beberapa tulang manusia yang
lain. Temuan tulang tengkorak ini menunjukkan bahwa gua Malui pernah digunakan
sebagai lokasi penguburan kedua (sekundet), sesuai dengan kondisi temuan rangka
yang tidak lengkap (Prasetyo et.al., 1995).
Gua Tengkorak, yang terdapat di Desa Batu Kajang,
Kevamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuah
lubang gua pada dinding batu kapur dengan ketinggian sekitar 15 meter dari
permukaan tanah. Pada sudut dinding
sebelah kiri dekat mulut gua terdapat sekelompok tengkorak manusia yang
jumlahnya sekitar 36 buah dan beberapa tulang manusia lain yang jumlahnya tidak
seberapa banyak (Sugiyanto, 2004). Jumlah tulang tengkorak yang ditemukan
menunjukkan adanya aktivitas penguburan yang cukup sering, dan tampaknya juga
merupakan sisasisa penguburan sekunder atau bahkan ada kecenderungan sebagai
sisa-sisa penguburan ketiga.
Gua Tengkorak yang lain, terdapat di wilayah Kecamatan
Longkali dan Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan
Timur. Kedua Gua Tengkorak itu juga dilaporkan mempunyai temuan tulang
tengkorak manusia didalamnya, sama dengan yang ditemui di Gua Tengkorak yang
terdapat di Desa Batu Kajang (Sugiyanto, 2004).
Gua Lungun Aji Bawo, yang terletak di Gunung batu kapur
Belawung di Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan
Timur, merupakan sebuag gua yang didalamnya terdapat fragmen sebuah lungun
bagian wadah yang cukup besar tanpa tutup. Lungun ini menurut keterangan
penduduk setempat adalah kubur seorang tokoh yang bernama Aji Bawo. Legenda
yang beredar di masyarakat Desa Muser, menceritakan bahwa tutup lungun itu
dibawa dan digunakan oleh lawan Aji Bawo untuk menaklukan daerah-daerah lainnya
(Sugiyanto, 2004).
Masyarakat Pendukung Tradisi Penguburan Dalam Gua
Temuan sisa-sisa penguburan yang berupa wadah kubur
lengkap dengan isinya dan sekelompok tulang tengkorak pada ruangan gua jelas
menunjukkan bahwa gua-gua tersebut dulunya pernah digunakan sebagai lokasi
penguburan oleh masyarakat tradisional. Tulang tengkorak yang ada memang belum sempat dianalisis
dengan cermat, tetapi jika melihat morfologi bentuknya, jelas terlihat bahwa
tengkorak tersebut merupakan tipa tengkorak manusia modern seperti yang ada
sekarang.
Menurut wadah kubur yang digunkan jenis penguburan dalam
gua di wilayah Kalimantan dapat dibagi dalam 2 kelompok : kelompok pertama :
yang menggunakan wadah kubur keriring, lungun, atau tebela, dan kelompok kedua
: yang tidak menggunakan wadah kubur. Sedang
menurut kondisi temuan rangka manusia yang dikuburkan, dapat dibagi
dalam dua kelompok yaitu kelompok penguburan langsung (primer) yang diwakili
oleh temuan keriring di Liang Nyeloi. Kelompok kedua merupakan jenis penguburan
kedua (sekunder) dengan dan tanpa wadah kubur.
Sementara itu data etnografi memperlihatkan bahwa pada
beberapa kelompok masyarakat tradisional yang hidup di Kalimantan, memang masih
melaksanakan sistem penguburan dengan menggunakan keriring, tebela dan lungun
serta tempayan sebagai wadah kubur pada penguburan pertama. Kemudiam untuk
penguburan kedua (sekunder), dapat menggunakan wadah kubur yang sama atau
langsung diletakkan dalam gua atau ceruk yang lokasinya cukup jauh dari
pemukiman.
Sebagian besar kelompok masyarakat tradisiobnal yang
berdiam di pedalaman Kalimantan Timur masih banyak yang mempraktekkan sistem
penguburan tradisional. Seperti masyarakat yang terdapat di Kecamatan Long
Pujungan, Kerayan, dan Kayan Mentarang serta masyarakat Punan yang ada di
daerah hulu dan sepanjang Sungai Sajau di Kabupaten Berau (Arifin, 1996b; Intan
et.al., 1995).
Pada kelompok masyarakat yang ada di Long Pujungan,
Kerayan dan Kayan Mentarang, biasanya menyelenggarakan penguburan kedua
(sekunder) dengan satu upacara dan pesta kematian yang besar. Pada upacara
penguburan tersebut, tulang tengkorak dan tulang lainnya yang penting diambil
dan dibersihkan untuk kemudian dipindahkan ke wadah kubur yang baru. Wadah
kubur yang digunakan untuk penguburan pertama dan kedua pada prinsipnya sama,
dan yang membedakan hanya cara penguburannya saja. Pada penguburan pertama si
mayat dimasukkan dalam wadah kubur, sedangkan pada penguburan kedua yang dimasukkan
kembali dalam wadah kubur hanya tulang tengkorak dan beberapa tulang lainnya
yang penting. Salah satu tempat yang
dipilih sebagai tempat penyimpanan wadah kubur pada penguburan kedua ini adalah
liang atau gua-gua yang terdapat di perbukitan batu kapur di sekitar pemukiman
penduduk.
Sedangkan pada masyarakat Dayak Punan Benau yang berdiam
gua-gua di pedalaman Kalimantan timur di wilayah Kab. Berau dan Kab. Bulungan,
terdapat satu kebiasaan penguburan yang menempatkan mayat pada sebuah liang
batu begitu saja tanpa mengenal adanya proes penguburan selanjutnya. Pada
penguburan langsung ini mayat si mati hanya dibungkus dengan kain atau ditutupi
dengan daun-daunan saja. Selanjutnya liang atau gua tersebut tidak pernah lagi
ditempati oleh kelompok suku Dayak Punan, karena diantara mereka sangat takut
dengan keberadaan hantu si mati (Intan et.al., 1995).
Walaupun jaman sejarah telah berakhir, namun dalam
kehidupan masyarakat pada masa kini masih terlihat tanda-tanda tradisi
prasejarah. Seperti Situs Gunung Pawon,
Masigit, dan Gunung Tanjung yang akan dibahas setelah ini.
Setelah melalui jalan berliku selepas Situ Ci-buruy, mata
kita langsung disuguhi pemandangan perbukitan karst yang memiliki makna
tersendiri di tengah masyarakat Desa Gunung Masigit. Di antaranya ada yang
disebut dengan Gunung Ka-rangpanganten, Gunung Pa-won, Gunung Masigit, Gunung
Tanjung, Gunung Bancana. Semua nama itu dikatakan sangat erat kaitannya dengan
legenda Sangkuriang pada masa lalu.
Menjelajahi kawasan perbukitan kare Desa Gunung Masigit,
dari sisi arkeologi terasa seperti mencoba menjawab teka-teki berantai. Di
balik jawaban pertanyaan pertama, muncul pertanyaan baru yang juga harus
dicarikan jawabannya. Begitulah seterusnya, seolah sangat banyak
pertanyaan-pertanyaan yang ha-rus dijawab melalui penelitian yang mendalam di
kawasan ini. Tantangan inilah yang dihadapi peneliti (arkeolog) bila datang dan
menelesuri sisa-sisa kehidupan prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan
kare yang memiliki bentang yang cukup luas di Desa Gunung Masigit itu pada masa
lalu.
Melalui penelitian arkeologi yang sistematis yang
dilakukan sejak tahun 2003, pertanyaan tentang apakah kehidupan prasejarah yang
menempati gua-gua yang terdapat di Gunung Pawon, mulai terungkap. Sampai April
2009 yang lalu, di Gua Pawon yang terletak di tebing sebelah utara Gunung Pawon
telah ditemukan paling tidak lima rangka manusia. Rangka ini di antaranya ada
yang ditemukan sebagian saja dan dalam keadaan utuh susunan anatomisnya.
Dari hasil penanggalan C- 14, dapat diketahui bahwa
ma-nusia Pawon ini hidup pada rentangwaktu antara 5.600 sampai 9.500 tahun yang
lalu. Dari pertanggalan C-14 ini pertanyaan Jean Cristope (Agustus, 2009)
arkeolog Prancis, yang memperkirakan bahwa kerangka manusia Pawon sebagai
kerangka tertua yang pernah ditemukan di Indonesia bagian barat, dapat
terjawab.
Dari hasil ekskavasi yang dilakukan di Gua Pawon,
sebenarnya tidak hanya kerangka manusia yang ditemukan. Akan tetapi, berbagai
sisa makanan berupa fragmen-frag-men tulang binatang buruan, moluska, sisa
peralatan hidup baik yang terbuat dari batu maupun tulang, serta berbagai
bentuk perhiasan masa prasejarah juga ditemukan. Dapat disimpulkan bahwa hasil
penelitian arkeologi yang dilakukan di Gua Pawon ini dapat menyuguhkan satu set
kehidupan prasejarah di dalam gua yang cukup lengkap.
Di balik penemuan kehidupan prasejarah di Gua Pawon,
pertanyaan berikut yang muncul adalah apakah kehidupan prasejarah di dalam gua
hanya berlangsung di Gua Pawon, apakah tidak ada sisa-sisa kehidupan prasejarah
di gua-gua lain yang terdapat di sekitar Pawon.
Dengan dasar asumsi bahwa pada masa lalu satu kehidupan
yang dilakukan manusia yang memanfaatkan gua sebagai tempat beraktivitas tidak
hanya dilakukan di satu tempat, tetapi juga didukung oleh lokasi-lokasi yang lain
karena manusia pada saat itu juga melakukan okupasi. Maka, dilakukan survei
lingkungan di sekitar Pasir Pawon. Cukup menarik hasil survei yang diperoleh,
ternyata selain Gua Pawon, di kawasan Gunung Pawon ini juga terdapat beberapa
gua yang lain.
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua
lagi yang terletak memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian
mulut berada di sisi sebelah utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu
yang cukup lebat dan pohon yang cukup besar sehingga mengakibatkan pencahayaan
ke bagian dalam gua berkurang.
Mungkin karena kurangnya pencahayaan itulah masyarakat
setempat menamainya Gua Peteng (bahasa Sunda pe-teng berarti remang-remang).
Agak ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang seratus meter, terdapat
satu gua lagi yang disebut Gua Keruk. Gua tersebut sampai sekarang jarang
dikunjungi dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh kerapatan semak.
Di kedua gua tersebut selain memiliki karakteristik yang ideal untuk
dimanfaatkan sebagai tempat hunian. Pada saat peninjauan dilakukan ditemukan
indikasi fungsi sebagai tempat hunian berupa fragmen gerabah tua di permukaan
lantai gua.
Beranjak ke gunung sebelah barat dari Gunung Pawon, yaitu
ke Gunung Masigit. Bila tidak terjadi pendinamitan dan penambangan gamping
secara besar-besaran di Gunung Masigit, mungkin saat ini kita masih dapat
menemukan gua dengan berbagai bentuk peninggalan masa lalunya di sana. Kini, di
bagian puncak gunung hanya tersisa bongkahan besar gamping dengan dinding yang
sangat terjal dan terus digaruk penambang batu gamping.
Tepat di sisi sebelah barat dari Gunung Masigit inilah
terletak Gunung Tanjung. Tidak jauh berbeda kondisinya dengan Gunung Masigit,
seba-gian besar dinding-dinding gamping yang berada di bagian puncak, sisi
selatan, barat dan utara Gunung Tanjung rusak oleh kegiatan penambangan batu
gamping. Walaupun sebagian besar kawasan gunung ini telah rusak, dari hasil
penelitian yang peruilis lakukan pada April 2009 yang lalu, ternyata gunung ini
pada masa lalu juga banyak memiliki tinggalan gua. Gua yang paling besar berada
di bagian puncak gunung, sedangkan gua-gua lainnya yang berukuran lebih kecil
terletak di sisi sebelah selatan dan sisi barat.
Cukup menarik cerita yang disampaikan oleh Pak Oo (52),
salah seorang saksi sejarah penghancuran gua yang turut bekerja sebagai pekerja
tambang di Gunung Tanjung. Gua yang berada di puncak Gunung Tanjung ini
disebutkan memiliki ruang yang cukup besar. Di dalam gua itu terdapat stalagtit
dan stalag-mit berbagai bentuk dan ukuran. Salah satu di antaranya memiliki
bentuk yang sangat indah seperti bunga tanjung. Masyarakat setempat menyebut
gunung itu dengan sebutan Gunung Tanjung.
Amat disayangkan, gua ini kemudian diledakkan untuk
diambil bongkahan-bongkah-an gampingnya. Selain diledakkan, lapisan tanah gua
yang disebutkan Pak Oosamadengan lapisan tanah yang ada di Gua Pawon ikut
dihancurkan. Dari lapisan tanah itu dahulu ikut terbongkar berbagai tulang
belulang dan berbagai benda tinggalan lainnya. Seolah tanpa dosa terhadap sejarah
dan budaya masa lalu, dikatakan tulang belung itu jadi mainan saling lempar
para pekerja tambang dan kemudian mereka buang begitu saja. Mungkin saat itu
hanya Bapak Oo sajalah yang punya rasa si-eun ka karvhun sehingga pada saat
diminta untuk menunjuk-. kan lokasi gua dan untuk mencari sisa-sisa tulang dari
gua yang sudah dihancurkan tersebut beliau masih bisa menemukannya.
Dari hasil penelitian, di lokasi bekas gua tersebut masih
ditemukan beberapa potongan tulang bagian tungkai (tibia) dan bagian tulang
paha [femur) manusia, serta beberapa potongan tulang binatang besar (macro
fauna). Melihat dari ukuran dan pelapukan yang telah terjadi pada potongan
tulang-tulang manusia yang ditemukan di bekas gua Gunung Tanjung tersebut,
dapat dilihat kemiripannya dengan temuan tulang manusia di Gua Pawon, terutama
rangka III (R.III) yang memiliki pertanggalan sekitar 7.300 tahun silam.
Atas dasar ini, kuat dugaan bahwa gua-gua yang ada di
Gunung Tanjung ini merupa-kan bagian dari kompleksitas kehidupan prasejarah
yang pernah berlangsung di kawasan tersebut selain Gua Pawon.Masih banyak
pertanyaan tentang kompleksitas sejarah kehidupan masa lalu yang ha-rus dijawab
di kawasan Desa Gunung Masigit khususnya dan umumnya kawasan Kecamatan Cipatat
yang kaya akan tinggalan gua-gua karet ini. Hal ini seiring dengan munculnya
laporan warga tentang adanya beberapa gua lagi yang ditemukan di daerah itu.
Menarik, hasil penjelajahan gua yang baru-baru ini
dilakukan oleh T. Bachtiar dkk. di Gunung Bancana, mungkin se- lain gua itu,
dahulunya di Gu- nung Bancana juga terdapat gua-gua lain yang juga memiliki
tinggalan kehidupan pra-sejarah. Akan tetapi, karena kegiatan tambang hal itu
sangat sulit untuk ditemukan kembali. Saat ini sangat diharapkan perhatian
lebih dari semua pihak, tinggalan perbukitan kare di kawasan Cipatat yang
sebagian besar telah menjadi kawasan penambangan batu gamping selama ini
ternyata memiliki nilai budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan yang amat penting
untuk dijaga kelestariannya. Memang, selama ini seolah perhatian di kawasan ini
hanya terfokus pada Gua Pawon (Gunung Pawon). (Drs. Lutfi Yondri, M.Hum.,
Peneliti Utama Bidang Prasejarah Balai Arkeologi Bandung, Ketua Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia Komda Jabar-Ban-ten).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar