Sabtu, 07 Juli 2012

KEHIDUPAN PRASEJARAH YANG TERSISA HINGGA SAAT INI

KEHIDUPAN PRASEJARAH YANG TERSISA HINGGA SAAT INI
TRADISI PENGUBURAN DALAM GUA
Dalam lintas sejarah kehidupan manusia, gua-gua dan ceruk payung dikenal sebagai salah satu tempat tinggal, baik secara tetap atau sementara, selain daerah terbuka lainnya. Pemanfaatan gua-gua sebagai tempat tinggal di Indonesia sudah dimulai sekitar  ± 10.000 tahun yang lalu (Poesponegoro et.al., 1993). Gua atau ceruk pada masa ini mulai dikenal sebagai pusat aktivitas manusia untuk beberapa macam kegiatan, antara lain : tempat tinggal, lokasi kegiatan industri alat (Batu, kayu atau tulang), dan lokasi penguburan.
Gua-gua dan ceruk payung sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan, panas dan dingin), dan juga dari gangguan dan serangan binatang-binatang buas serta ancaman dari kelompok manusia lainnya. Dalam periode penghunian gua, yang paling awal tampak bahwa gua dipergunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian pada kurun waktu berikutnya menjadikan gua sebagai tempat kubur dan tempat melaksanakan upacara-upacara ritual.
Pemanfaatan gua sebagai tempat penguburan menunjukkan adanya kecenderungan memilih bagian-bagian atau ruang-ruang yang lebih terisolasi, yaitu yang dekat dinding gua. Penguburan dalam gua pada umumnya dalam posisi rangka terlipat,  yang  menunjukkan adanya perlakuan khusus terhadap si mati. Sebagian ahli menganggap posisi rangka terlipat ini sebagai posisi tiruan kondisi bayi yang berada dalam rahim ibu, yang melambangkan suatu kelahiran kembali pada kehidupan sesudah mayi (Soejono, 1977), sebagian lainnya mendasarkan pada alasan praktis, yaitu untuk mengatasi tempat penguburan yang sempit. Sistem penguburan terlipat agaknya mulai berkembang luas sejak awal Kala Holosen, antara lain ditemukan di Gua Lawa, Gua Sodong, Gua Marjan, Gua Gentong (Simanjuntak, 1999).
Di samping itu tampak adanya jenis penguburan langsung (primer) dan penguburan kedua (sekunder), baik yang menggunakan wadah kubur maupun yang tanpa wadah kubur. Wadah kubur yang sering ditemukan dalam penguburan di gua-gua antara lain : tempayan gerabah, tempayan keramik (guci), atau peti mati dari kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Kalimantan merupakan sebuah pulau besar yang ada di wilayah negara Indonesia, yang dikenal mempunyai sumberdaya alam berupa perbukitan batu kapur yang cukup melimpah. Sumberdaya alam tersebut terdapat terutama disekitar daerah pegunungan yang ada, seperti di sekitar Pegunungan Meratus, Pegunungan Muller dan Pegunungan Schwanner. Menurut hasil penelitian pemantauan, kawasan perbukitan batu kapur di Kalimantan terbentuk secara acak dan terputus-putus. Kawasan perbukitan batu kapur yang sangat potensial terdapat antara lain : di Tanjung Mangkalihat, Binuang, Muara Uya dan lain-lain. Di kawasan perbukitan batu kapur seperti ini, biasanya banyak terdapat gua atau ceruk payung.
Sementara itu, gua dan ceruk payung yang ada di wilayah Kalimantan tampaknya banyak yang masih dipergunakan sebagai tempat penguburan tradisional oleh masyarakat setempat. Temuan berupa wadah kubur baik yang masih lengkap isinya maupun yang sudah kosong serta temuan tulang tengkorak pada gua dan ceruk payung jelas menunjukkan adanya kegiatan penguburan yang pernah dilakukan pada tempat tersebut. Hanya sayangnya sampai saat ini siapa pendukung tradisi penguburan gua  belum dapat diketahui dengan jelas. Masyarakat  yang ada disekitar  lokasi situs saat ini, banyak yang tidak (kurang) tahu tentang proses penguburan dalam gua.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran tentang proses penguburan yang mendekati kebenaran, diperlukan bantuan dari studi etnografi tentang tata cara penguburan tradisional yang masih dilakukan oleh masyarakat saat ini. Studi etnografi yang digunakan untuk membantu penafsiran data arkeologi biasa dikenal dengan etnoarkeologi.
Studi etnoarkeologi yang dimaksudkan adalah studi tentang bagaimana masyarakat menangani sebuah kematian dan memperlakukan mayat mulai dari persiapan sampai pada pelaksanaan penguburannya, bagaimana bentuk wadah kubur yang digunakan, bagaimana bekal kubur yang disertakan, dimana lokasi penguburannya, bagaimana pengaturan atau penjadwalan jenis penguburannya dan lain-lain. Semua keterangan itu merupakan data pembanding yang sangat berguna bagi pengungkapan dan penjelasan tentang sisa-sisa penguburan dalam gua-gua di wilayah Kalimantan.
Penguburan Dalam Gua-dan Ceruk Prasejarah
Secara umum penguburan dalam gua dan ceruk payung dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu :kelompok pertama penguburan langsung (primer) dan kelompok kedua penguburan tidak langsung (sekunder). Selain berdasarkan wadah kubur yang dipergunakan, jenis penguburan langsung (primer) dapat dibedakan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penguburan langsung (primer) tanpa wadah kubur dan penguburan langsung dengan wadah kubur. Sedang penguburan tidak langsung (sekunder) juga dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok penguburan tidak langsung (sekunder) tanpa wadah dan dengan wadah kubur. Wadah kubur yang dipergunakan pada umumnya berupa kotak kayu, kotak tembikar, tempayan gerabah atau tempayan keramik.
Pada umumnya di Indonesia, dikenal adanya penguburan langsung tanpa wadah kubur, dengan berbagai macam sikap dan posisi mayat. Posisi yang paling sering ditemukan adalah posisi mayat lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai macam sikap tangan (lurus disamping tubuh, menyilang diatas dada atau perut dengan telapak tangan menutupi daerah kemaluan, dan lainnya). Kemudian terdapat juga posisi mayat terlipat (duduk atau terbujur miring), dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan terlipat dibagian kepala atau leher.
Khusus penguburan primer dengan wadah kubur berupa tempayan, biasanya mayat diatur dalam posisi terlipat sedemikian rupa, sehingga dapat dimasukkan dalam tempayan kubur. Cara memasukkan mayat tersebut harus hati-hati, dengan terlebih dahulu memotong bagian atas tempayan untuk mempermudah proses masuknya mayat. Setelah mayat dapat dimasukkan dalam tempayan, baru kemudian bagian atas yang terpotong tadi disambungkan lagi dan akhirnya tempayan tersebut ditutup oleh piring, periuk atau tempayan lain yang lebih kecil. (Poesponegoro et.al., 1993).
Sementara untuk penguburan yang menggunakan wadah kubur, antara lain terdapat di Gua Niah (Serawak). Di Gua Niah, selain penguburan langsung tanpa wadah, juga terdapat penguburan dengan wadah kubur berupa tempayan gerabah. Tempayan kubur yang terdapat di Gua Niah terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok yang digunakan sebagai tempat penguburan primer dan kelompok penguburan sekunder. Selain itu juga terdapat penguburan dengan menggunakan sepasang tempayan (tempayan ganda/setangkup) (Harrisson, 1968).
Memang dalam penghunian gua dan ceruk payung, kegiatan penguburan merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan kehidupan manusia, yang dipandang mempunyai nilai lain yang sangat penting. Pada masa-masa awal penghunian manusia, dimana jumlah anggota kelompok yang menghuni gua belum begitu banyak, biasanya lokasi penguburan terdapat dibagian sudut gua yang agak kedalam dan cukup gelap. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan kemampuan yang menyebabkan terjadinya peningkatan pengetahuan dan wawasan dalam mengarungi kehidupan.
Peningkatan pengetahuan ini berakibat langsung kepada pertambahan jumlah anggota kelompok, yang ujung-ujungnya membuat ruangan yang tersedia di gua atau ceruk payung terasa begitu sempit dan sesak. Terdesak oleh keperluan ruang kehidupan yang nyaman, maka mereka mencoba mencari tempat tinggal yang baru yang dapat menampung kelebihan jumlah anggota kelompok. Peningkatan pengetahuan manusia ini juga berimbas langsung terhadap pandangan terhadap proses penguburan dan lokasi penguburan. Kemungkinan besar, lokasi penguburan yang dulunya menjadi satu dengan kegiatan kehidupan lainnya dengan relokasi tertentu, kemudian mulai sedikit demi sedikit dipindahkan ke tempat yang lain (gua atau ceruk yang lain). Sehingga kemudian muncul atau ditemukan ada gua-gua yang khusus berisi temuan berupa sisa-sisa aktivitas penguburan saja.
Penguburan manusia dalam gua-gua prasejarah pada awalnya sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primer) dengan posisi mayat telentang atau terlipat, dan mayat ditaburi dengan warna merah (oker). Pemberian bekal kubur yang pada awalnya tidak atau belum dikenal, sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipraktekkan baik pada penguburan tanpa wadah atau dengan wadah kubur. Bekal kubur yang sering disertakan berupa : manik-manik, beliung persegi, perhiasan (kerang, batu, dan lainnya), senjata, dan peralatan kehidupan (piring, periuk, kendi, botol dan lainnya).
Hasil penelitian terhadap gua dan ceruk antara di wilayah Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Tenggara serta Nusa Tenggara, menunjukkan bahwa penguburan manusia dalam gua dapat dibagi dalam empat tahapan, yaitu :
1.        Tahap pertama : penguburan langsung tanpa wadah kubur (primer), yaitu mayat langsung dikuburkan dalam tanah dengan posisi rangka telentang, miring terbujur atau miring terlipat.
2.        Tahap kedua : penguburan langsung dengan wadah kubur berupa tempayan atau guci keramik, dalam berbagai bentuk dan ukuran serta wadah kubur lainnya.
3.        Tahap ketiga : penguburan tidak langsung dengan wadah kubur berupa tempayan atau guci keramik.
4.        Tahap keempat : penguburan tidak langsung tanpa wadah kubur, yaitu dengan menempatkan beberapa tulang-tulang khusus pada suatu tempat yang terpencil (susah dijangkau), seperti gua-gua dan ceruk payung yang terdapat pada dinding batu kapur yang cukup tinggi 
Pengamatan temuan sisa-sisa penguburan yang ada dalam gua atau ceruk payung, yang berupa rangka manusia baik yang utuh maupun yang tidak utuh, menunjukkan bahwa jenis manusia yang dikuburkan dalam gua-gua itu adalah : ras Australomelanesid dan Mongoloid. Dari prosentase temuan yang dilakukan terhadap posisi mayat yang ada, menunjukkan bahwa ras Australomelanesid cenderung mempergunakan posisi mayat telentang, sedang posisi terlipat sering menunjukkan manusia dari ras Mongoloid (Bellwood, 2000).
Konsep Kematian Dan Penguburan Tradisional
Adanya penguburan dalam gua-gua dan ceruk payung menunjukkan adanya satu konsep kepercayaan tentang kematian yang berkembang pesat seiring dengan peningkatan teknologi dan kemampuan manusia dalam mengahadapi tantangan alam. Pemilihan lokasi penguburan yang berada di sudut-sudut bagian dalam gua yang cukup gelap, merupakan wujud dari perasaan takut mereka akan kekuatan dan pengaruh yang berasal dari luar kehidupan manusia (supranatural). Manusia pada masa ini, percaya dan yakin bahwa kematian itu bukanlah akhir dari satu kehidupan manusia, tetapi merupakan salah satu tahapan transisi kehidupan yang harus dilewati oleh roh si mati dalam perjalanan mencapai alam arwah.
Selama masa transisi, roh si mati tidak dapat berbuat apa-apa, dan sangat membutuhkan bantuan keluarga lainnya untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan perjalanan panjangnya. Keberhasilan perjalanan roh si mati dalam menuju alam arwah (surga)  merupakan kewajiban ahli waris atau keluarga yang ditinggalkannya, dan keberhasilan itu berdampak baik pada kehidupan manusia terutama  yang berkaitan dengan kesuburan tanaman, kesehatan dan  kemakmuran.
Pandangan dan keyakinan inilah yang kemudian memunculkan adanya pemberian bekal kubur bagi  keperluan si mati. Seperti diketahui, setelah meninggal, roh si mati harus mengadakan perjalanan panjang dan penuh rintangan menuju ke alam arwah. Perjalanan tersebut memerlukan persiapan yang matang dan perbekalan yang cukup, sehingga nantinya tidak akan mengalami gangguan dan dapat sampai dengan selamat ke alam arwah.
Untuk keperluan perjalanan roh tersebut, maka disertakan barang atau benda lain yang diperlukan selama perjalanan tersebut, seperti : makanan secukupnya, senjata, perhiasan dan lainnya. Pada awalnya, perlakuan terhadap mayat hanya berupa pemberian taburan warna atau sapuan cat merah (oker) pada rangka manusia yang dikuburkan, kemudian berkembang seperti di atas bahkan adapula yang menyertakan seekor binatang peliharaan atau seorang budak yang dimilikinya, untuk mengawal perjalanan menuju ke alam arwah.
Semua konsep dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tradisional ini dilakukan dengan penuh ketaatan dan diatur secara tegas dalam adat istiadat tradisional.  Dalam aturan adat istiadat, proses penanganan si mati ini terdiri dari dua atau tiga tahap, yaitu : tahap penguburan pertama, tahap penguburan kedua dan tahap penguburan ketiga. Tetapi pada umumnya yang sering tampak adalah penguburan pertama dan dilanjutkan oleh penguburan kedua beberapa waktu kemudian.
Pada pelaksanaan penguburan pertama, biasa si mati (mayat) dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu (peti kubur, tempayan dan lain-lain). Sedang pada pelaksanaan penguburan kedua, biasa dilakukan setelah 2 – 3 tahun setelah penguburan dan disertai dengan pesta upacara yang sangat meriah (Tiwah, Ijambe, Marabia, Ngadatun, Mambatur,dan Irau ). Pada penguburan tahap ketiga, biasanya dilakukan setelah penguburan kedua, dengan mengambil tengkorak dan tulang jari-jari tangan untuk dipindahkan ke tempat lain yang susah dijangkau seperti celah-celah di tebing batu kapur yang curam atau di dasar sungai yang dalam. Pemindahan tengkorak ini dilakukan agar tidak dapat dirampok atau dicuri oleh musuh.
Pada penguburan pertama, wadah kubur yang digunakan oleh beberapa kelompok masyarakat tradisional di Kalimantan biasanya berupa sebuah peti mati dari kayu (ulin) atau sebuah tempayan baik gerabah maupun keramik (guci, tajau). Peti mati dari kayu ini mempunyai nama sesuai dengan masyarakatnya, seperti pada masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah disebut dengan keriring, di Kalimantan selatan dikenal dengan sebutan tebela dan di Kalimantan Timur dikenal dengan nama lungun. (Hartatik, 2000; 2001), sedang untuk tempayan juga dikenal beberapa nama lokal seperti : tajau, dan  belanai (Kusmartono et.al., 2000).
Peti mati kayu tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian wadah dan bagian penutup. Bentuk peti mati dibuat mirip dengan bentuk perahu, dan kadang diberi hiasan naga pada bagian atas penutup. Hiasan naga ini dapat juga digunakan sebagai tanda arah / orientasi penguburan, dimana pahatan kepala naga selalu diarahkan ke arah hilir (Hartatik, 2000).  Sedang untuk penguburan dengan wadah kubur berupa tempayan, juga sering dijumpai adanya hiasan gambar naga pada bagian leher  atau badan tempayan. Informasi dari para sesupuh masyarakat, menyebutkan bahwa jenis tampayan yang digunakan bervariasi. Jenis tempayan yang bagus dan mahal hanya digunakan oleh kaum mampu, sedangkan orang biasa hanya menggunakan tempayan yang kualitasnya dibawahnya (biasanya polos tanpa hiasan) (Kusmartono et.al., 2000).
Lokasi penguburan yang dipilih oleh masyarakat sangat bervariasi. Ada yang menempatkan lokasi penguburan disebuah lahan yang terletak tidak begitu jauh dengan lokasi permukiman (khusus untuk penguburan pertama (sekunder)), sedang untuk penguburan kedua (sekunder) dapat juga menggunakan lahan yang sama atau memilih lokasi lain, seperti : di tengah hutan, dahan pohon besar, celah tebing-tebing batu, gua, ceruk atau dasar sungai yang dalam (Arifin, 1996a).
Tradisi Penguburan Dalam Gua-Gua di Kalimantan
Tradisi penguburan dalam gua yang ada di wilayah Kalimantan, antara lain terdapat di  Liang Nyeloi, Gua Malui, Gua Kasali, Gua Tengkorak (Batu Sopang), Gua Tengkorak (Longkali), Gua Tengkorak (Muser), dan Gua Lungun Aji Bawo (Nitihaminoto et.al., 1999; Prasetyo et.al., 1995; Sugiyanto, 2004).
Liang Nyeloi, yang terletak di daerah perbukitan batu kapur di Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kalimantan Tengah, merupakan sebuah gua yang digunakan sebagai tempat penguburan masyarakat tradisional. Jenis penguburan yang terdapat di dalam gua tersebut berupa penguburan dengan menggunakan keriring. Ada sekitar ... buah keriring yang semuannya berisi rangka manusia utuh yang sudah agak rapuh. Jumlah keriring dan kondisi rangka manusia yang ada menunjukkan bahwa penguburan yang dilakukan di Liang Nyeloi adalah penguburan langsung (primer) dengan menggunakan wadah kubur keriring (Nitihaminoto et.al., 1999).
 Gua Malui, yang terletak di Gunung Kapur di wilayah Kecamatan Haruai, merupakan sebuah gua yang didalamnya banyak ditemukan tulang tengkorak dan beberapa tulang manusia yang lain. Temuan tulang tengkorak ini menunjukkan bahwa gua Malui pernah digunakan sebagai lokasi penguburan kedua (sekundet), sesuai dengan kondisi temuan rangka yang tidak lengkap (Prasetyo et.al., 1995).
Gua Tengkorak, yang terdapat di Desa Batu Kajang, Kevamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuah lubang gua pada dinding batu kapur dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah.  Pada sudut dinding sebelah kiri dekat mulut gua terdapat sekelompok tengkorak manusia yang jumlahnya sekitar 36 buah dan beberapa tulang manusia lain yang jumlahnya tidak seberapa banyak (Sugiyanto, 2004). Jumlah tulang tengkorak yang ditemukan menunjukkan adanya aktivitas penguburan yang cukup sering, dan tampaknya juga merupakan sisasisa penguburan sekunder atau bahkan ada kecenderungan sebagai sisa-sisa penguburan ketiga.
Gua Tengkorak yang lain, terdapat di wilayah Kecamatan Longkali dan Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Kedua Gua Tengkorak itu juga dilaporkan mempunyai temuan tulang tengkorak manusia didalamnya, sama dengan yang ditemui di Gua Tengkorak yang terdapat di Desa Batu Kajang (Sugiyanto, 2004).
Gua Lungun Aji Bawo, yang terletak di Gunung batu kapur Belawung di Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuag gua yang didalamnya terdapat fragmen sebuah lungun bagian wadah yang cukup besar tanpa tutup. Lungun ini menurut keterangan penduduk setempat adalah kubur seorang tokoh yang bernama Aji Bawo. Legenda yang beredar di masyarakat Desa Muser, menceritakan bahwa tutup lungun itu dibawa dan digunakan oleh lawan Aji Bawo untuk menaklukan daerah-daerah lainnya (Sugiyanto, 2004).
Masyarakat Pendukung Tradisi Penguburan Dalam Gua
Temuan sisa-sisa penguburan yang berupa wadah kubur lengkap dengan isinya dan sekelompok tulang tengkorak pada ruangan gua jelas menunjukkan bahwa gua-gua tersebut dulunya pernah digunakan sebagai lokasi penguburan oleh masyarakat tradisional. Tulang tengkorak  yang ada memang belum sempat dianalisis dengan cermat, tetapi jika melihat morfologi bentuknya, jelas terlihat bahwa tengkorak tersebut merupakan tipa tengkorak manusia modern seperti yang ada sekarang.
Menurut wadah kubur yang digunkan jenis penguburan dalam gua di wilayah Kalimantan dapat dibagi dalam 2 kelompok : kelompok pertama : yang menggunakan wadah kubur keriring, lungun, atau tebela, dan kelompok kedua : yang tidak menggunakan wadah kubur. Sedang  menurut kondisi temuan rangka manusia yang dikuburkan, dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok penguburan langsung (primer) yang diwakili oleh temuan keriring di Liang Nyeloi. Kelompok kedua merupakan jenis penguburan kedua (sekunder) dengan dan tanpa wadah kubur.
Sementara itu data etnografi memperlihatkan bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tradisional yang hidup di Kalimantan, memang masih melaksanakan sistem penguburan dengan menggunakan keriring, tebela dan lungun serta tempayan sebagai wadah kubur pada penguburan pertama. Kemudiam untuk penguburan kedua (sekunder), dapat menggunakan wadah kubur yang sama atau langsung diletakkan dalam gua atau ceruk yang lokasinya cukup jauh dari pemukiman.
Sebagian besar kelompok masyarakat tradisiobnal yang berdiam di pedalaman Kalimantan Timur masih banyak yang mempraktekkan sistem penguburan tradisional. Seperti masyarakat yang terdapat di Kecamatan Long Pujungan, Kerayan, dan Kayan Mentarang serta masyarakat Punan yang ada di daerah hulu dan sepanjang Sungai Sajau di Kabupaten Berau (Arifin, 1996b; Intan et.al., 1995).
Pada kelompok masyarakat yang ada di Long Pujungan, Kerayan dan Kayan Mentarang, biasanya menyelenggarakan penguburan kedua (sekunder) dengan satu upacara dan pesta kematian yang besar. Pada upacara penguburan tersebut, tulang tengkorak dan tulang lainnya yang penting diambil dan dibersihkan untuk kemudian dipindahkan ke wadah kubur yang baru. Wadah kubur yang digunakan untuk penguburan pertama dan kedua pada prinsipnya sama, dan yang membedakan hanya cara penguburannya saja. Pada penguburan pertama si mayat dimasukkan dalam wadah kubur, sedangkan pada penguburan kedua yang dimasukkan kembali dalam wadah kubur hanya tulang tengkorak dan beberapa tulang lainnya yang penting.  Salah satu tempat yang dipilih sebagai tempat penyimpanan wadah kubur pada penguburan kedua ini adalah liang atau gua-gua yang terdapat di perbukitan batu kapur di sekitar pemukiman penduduk.
Sedangkan pada masyarakat Dayak Punan Benau yang berdiam gua-gua di pedalaman Kalimantan timur di wilayah Kab. Berau dan Kab. Bulungan, terdapat satu kebiasaan penguburan yang menempatkan mayat pada sebuah liang batu begitu saja tanpa mengenal adanya proes penguburan selanjutnya. Pada penguburan langsung ini mayat si mati hanya dibungkus dengan kain atau ditutupi dengan daun-daunan saja. Selanjutnya liang atau gua tersebut tidak pernah lagi ditempati oleh kelompok suku Dayak Punan, karena diantara mereka sangat takut dengan keberadaan hantu si mati (Intan et.al., 1995).
Walaupun jaman sejarah telah berakhir, namun dalam kehidupan masyarakat pada masa kini masih terlihat tanda-tanda tradisi prasejarah. Seperti Situs Gunung Pawon, Masigit, dan Gunung Tanjung yang akan dibahas setelah ini.
Setelah melalui jalan berliku selepas Situ Ci-buruy, mata kita langsung disuguhi pemandangan perbukitan karst yang memiliki makna tersendiri di tengah masyarakat Desa Gunung Masigit. Di antaranya ada yang disebut dengan Gunung Ka-rangpanganten, Gunung Pa-won, Gunung Masigit, Gunung Tanjung, Gunung Bancana. Semua nama itu dikatakan sangat erat kaitannya dengan legenda Sangkuriang pada masa lalu.
Menjelajahi kawasan perbukitan kare Desa Gunung Masigit, dari sisi arkeologi terasa seperti mencoba menjawab teka-teki berantai. Di balik jawaban pertanyaan pertama, muncul pertanyaan baru yang juga harus dicarikan jawabannya. Begitulah seterusnya, seolah sangat banyak pertanyaan-pertanyaan yang ha-rus dijawab melalui penelitian yang mendalam di kawasan ini. Tantangan inilah yang dihadapi peneliti (arkeolog) bila datang dan menelesuri sisa-sisa kehidupan prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan kare yang memiliki bentang yang cukup luas di Desa Gunung Masigit itu pada masa lalu.
Melalui penelitian arkeologi yang sistematis yang dilakukan sejak tahun 2003, pertanyaan tentang apakah kehidupan prasejarah yang menempati gua-gua yang terdapat di Gunung Pawon, mulai terungkap. Sampai April 2009 yang lalu, di Gua Pawon yang terletak di tebing sebelah utara Gunung Pawon telah ditemukan paling tidak lima rangka manusia. Rangka ini di antaranya ada yang ditemukan sebagian saja dan dalam keadaan utuh susunan anatomisnya.
Dari hasil penanggalan C- 14, dapat diketahui bahwa ma-nusia Pawon ini hidup pada rentangwaktu antara 5.600 sampai 9.500 tahun yang lalu. Dari pertanggalan C-14 ini pertanyaan Jean Cristope (Agustus, 2009) arkeolog Prancis, yang memperkirakan bahwa kerangka manusia Pawon sebagai kerangka tertua yang pernah ditemukan di Indonesia bagian barat, dapat terjawab.
Dari hasil ekskavasi yang dilakukan di Gua Pawon, sebenarnya tidak hanya kerangka manusia yang ditemukan. Akan tetapi, berbagai sisa makanan berupa fragmen-frag-men tulang binatang buruan, moluska, sisa peralatan hidup baik yang terbuat dari batu maupun tulang, serta berbagai bentuk perhiasan masa prasejarah juga ditemukan. Dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Gua Pawon ini dapat menyuguhkan satu set kehidupan prasejarah di dalam gua yang cukup lengkap.
Di balik penemuan kehidupan prasejarah di Gua Pawon, pertanyaan berikut yang muncul adalah apakah kehidupan prasejarah di dalam gua hanya berlangsung di Gua Pawon, apakah tidak ada sisa-sisa kehidupan prasejarah di gua-gua lain yang terdapat di sekitar Pawon.
Dengan dasar asumsi bahwa pada masa lalu satu kehidupan yang dilakukan manusia yang memanfaatkan gua sebagai tempat beraktivitas tidak hanya dilakukan di satu tempat, tetapi juga didukung oleh lokasi-lokasi yang lain karena manusia pada saat itu juga melakukan okupasi. Maka, dilakukan survei lingkungan di sekitar Pasir Pawon. Cukup menarik hasil survei yang diperoleh, ternyata selain Gua Pawon, di kawasan Gunung Pawon ini juga terdapat beberapa gua yang lain.
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian mulut berada di sisi sebelah utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon yang cukup besar sehingga mengakibatkan pencahayaan ke bagian dalam gua berkurang.
Mungkin karena kurangnya pencahayaan itulah masyarakat setempat menamainya Gua Peteng (bahasa Sunda pe-teng berarti remang-remang). Agak ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang seratus meter, terdapat satu gua lagi yang disebut Gua Keruk. Gua tersebut sampai sekarang jarang dikunjungi dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh kerapatan semak. Di kedua gua tersebut selain memiliki karakteristik yang ideal untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian. Pada saat peninjauan dilakukan ditemukan indikasi fungsi sebagai tempat hunian berupa fragmen gerabah tua di permukaan lantai gua.
Beranjak ke gunung sebelah barat dari Gunung Pawon, yaitu ke Gunung Masigit. Bila tidak terjadi pendinamitan dan penambangan gamping secara besar-besaran di Gunung Masigit, mungkin saat ini kita masih dapat menemukan gua dengan berbagai bentuk peninggalan masa lalunya di sana. Kini, di bagian puncak gunung hanya tersisa bongkahan besar gamping dengan dinding yang sangat terjal dan terus digaruk penambang batu gamping.
Tepat di sisi sebelah barat dari Gunung Masigit inilah terletak Gunung Tanjung. Tidak jauh berbeda kondisinya dengan Gunung Masigit, seba-gian besar dinding-dinding gamping yang berada di bagian puncak, sisi selatan, barat dan utara Gunung Tanjung rusak oleh kegiatan penambangan batu gamping. Walaupun sebagian besar kawasan gunung ini telah rusak, dari hasil penelitian yang peruilis lakukan pada April 2009 yang lalu, ternyata gunung ini pada masa lalu juga banyak memiliki tinggalan gua. Gua yang paling besar berada di bagian puncak gunung, sedangkan gua-gua lainnya yang berukuran lebih kecil terletak di sisi sebelah selatan dan sisi barat.
Cukup menarik cerita yang disampaikan oleh Pak Oo (52), salah seorang saksi sejarah penghancuran gua yang turut bekerja sebagai pekerja tambang di Gunung Tanjung. Gua yang berada di puncak Gunung Tanjung ini disebutkan memiliki ruang yang cukup besar. Di dalam gua itu terdapat stalagtit dan stalag-mit berbagai bentuk dan ukuran. Salah satu di antaranya memiliki bentuk yang sangat indah seperti bunga tanjung. Masyarakat setempat menyebut gunung itu dengan sebutan Gunung Tanjung.
Amat disayangkan, gua ini kemudian diledakkan untuk diambil bongkahan-bongkah-an gampingnya. Selain diledakkan, lapisan tanah gua yang disebutkan Pak Oosamadengan lapisan tanah yang ada di Gua Pawon ikut dihancurkan. Dari lapisan tanah itu dahulu ikut terbongkar berbagai tulang belulang dan berbagai benda tinggalan lainnya. Seolah tanpa dosa terhadap sejarah dan budaya masa lalu, dikatakan tulang belung itu jadi mainan saling lempar para pekerja tambang dan kemudian mereka buang begitu saja. Mungkin saat itu hanya Bapak Oo sajalah yang punya rasa si-eun ka karvhun sehingga pada saat diminta untuk menunjuk-. kan lokasi gua dan untuk mencari sisa-sisa tulang dari gua yang sudah dihancurkan tersebut beliau masih bisa menemukannya.
Dari hasil penelitian, di lokasi bekas gua tersebut masih ditemukan beberapa potongan tulang bagian tungkai (tibia) dan bagian tulang paha [femur) manusia, serta beberapa potongan tulang binatang besar (macro fauna). Melihat dari ukuran dan pelapukan yang telah terjadi pada potongan tulang-tulang manusia yang ditemukan di bekas gua Gunung Tanjung tersebut, dapat dilihat kemiripannya dengan temuan tulang manusia di Gua Pawon, terutama rangka III (R.III) yang memiliki pertanggalan sekitar 7.300 tahun silam.
Atas dasar ini, kuat dugaan bahwa gua-gua yang ada di Gunung Tanjung ini merupa-kan bagian dari kompleksitas kehidupan prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan tersebut selain Gua Pawon.Masih banyak pertanyaan tentang kompleksitas sejarah kehidupan masa lalu yang ha-rus dijawab di kawasan Desa Gunung Masigit khususnya dan umumnya kawasan Kecamatan Cipatat yang kaya akan tinggalan gua-gua karet ini. Hal ini seiring dengan munculnya laporan warga tentang adanya beberapa gua lagi yang ditemukan di daerah itu.
Menarik, hasil penjelajahan gua yang baru-baru ini dilakukan oleh T. Bachtiar dkk. di Gunung Bancana, mungkin se- lain gua itu, dahulunya di Gu- nung Bancana juga terdapat gua-gua lain yang juga memiliki tinggalan kehidupan pra-sejarah. Akan tetapi, karena kegiatan tambang hal itu sangat sulit untuk ditemukan kembali. Saat ini sangat diharapkan perhatian lebih dari semua pihak, tinggalan perbukitan kare di kawasan Cipatat yang sebagian besar telah menjadi kawasan penambangan batu gamping selama ini ternyata memiliki nilai budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan yang amat penting untuk dijaga kelestariannya. Memang, selama ini seolah perhatian di kawasan ini hanya terfokus pada Gua Pawon (Gunung Pawon). (Drs. Lutfi Yondri, M.Hum., Peneliti Utama Bidang Prasejarah Balai Arkeologi Bandung, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jabar-Ban-ten).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar